-->

Ko-Ass THT

Post a Comment
Sepenggal kisah saat di poli THT

Hari ini kami belajar tes penala. Ternyata, weber yang diletakkan di gigi lebih terdengar dari pada di dahi. Kami juga melakukan tes Bing. Senang rasanya tahu bagaimana lateralisasi. Tapi belum selesai dengan tes yang lain.

Di poli dapat pasien anak laki-laki sekitar 5 tahun dengan benda asing di hidung kiri, yaitu buah lenca. Saat berhadapan dengan dokter, sang anak langsung menangis dan menolak untuk diperiksa. Saat ayahnya yang mau memegang pun dia tetap menangis. Akhirnya salah satu petugas di poli langsung memegang anak tersebut. Sang anak langsung meronta. Perawat yang lain memegang tangan dan kakinya. Belum nyampe satu menit, dokter sudah berhasil mengeluarkan buah lenca sebesar kelerang.

Aku dapat pelajaran dari sana, pasien THT kebanyakan memang tidak kooperatif, apalagi anak kecil. Untuk itu diperlukan kepandaian dalam fisik diagnostik dan juga terapi seperti mengeluarkan benda asing. Semangat, ayo berusaha!

Berikutnya ada pasien dengan serumen yang sulit dibersihkan. Pasien sudah mendapat obat tetes telinga selama beberapa hari, namun tetap saja keras. Ternyata dia salah dalam pemakaian obat tetesnya. Yang benar adalah, teteskan sebanyak satu tetes, kemudian diubek-ubek depan tragusnya sampai obatnya masuk, lalu teteskan lagi, diubek-ubek lagi di depan tragusnya. Setelah itu ditutup dengan kapas biar obatnya tidak keluar dan bekerja lebih baik.

Selain itu, aku juga menulis beberapa larutan yang ada di meja alat, yaitu: Bethadin, Epedrin 2 %, Revanol, H2O2 1 %, Alkohol 70%. Tapi aku belum mencari kegunaan masing-masing larutan tersebut. Hanya beberapa yang mengkin sudah kita maklumi gunanya.

Jam sepuluh kami bimbingan radiologi. Sayangnya aku bukan tipe orang yang baik saat mendengar kuliah, ada beberapa hal yang bisa kutangkap. Untuk foto Sinus Paranasal (SPN), ada beberapa posisi. Posisi yang sering digunakan di RS. F adalah: AP, lateral, dan Water's. Kemudian ada foto Temporo Mandibular Joint (TMP) yang biasa dilakukan pada pasien yang tidak bisa menutup mulut kembali. Ada juga yang disebut CT scan facial bone 3D untuk fraktur wajah.

Untuk CT scan SPN ada posisi oblik dan coronal. Paling bagus coronal karena tampak semua. Kemudian, dalam kedaruratan, biasanya dilakukan foto polos karena lebih cepat. Dijelaskan juga cara menbaca adanya sinusitis. Bisa jadi adanya kesuraman, fluid level, atau perselubungan.

Pada foto mastoid, yang pertama dilihat adalah membandingkan kiri dan kanan, kemudian dilihat Meatus Akustikus Ekternus, normalnya lusen. Lalu pneumatisasi sel mastoid. Jika terjadi pneumatisasi yang berkurang atau menghilang bisa jadi karena terisi cairan, berarti ada kelainan. Lalu diperlihatkan juga gambaran kolesteatom, biasanya berbentuk kavitas lusen yang dapat menyebabkan destruksi tulang. Dimana, jika parah bisa sampai ke otak.

Kami juga diajarkan mengenai esofagogram, sayang aku cuma bisa menangkap judulnya saja.

Sehabis radiologi, bimbingan dengan dr. S. Pertama beliau memberi pengarahan mengenai kepaniteraan. Mencoba membuka wawasan kami tentang proses ini yang tidak akan berulang dua kali, jadi manfaatkan dengan sebaik-naiknya. Cukup menggugah, semoga bisa terus jadi pemacu agar aku berusaha.

Presentasi kasus (preskas) oleh dua orang temanku dengan diagnosis rinosinusitis kronik dan Otitis Media Akut stadium resolusi. Dalam pemeriksaan fisik (PF) ditemukan adanya perforasi Membran Timpani (MT) yang ternyata menurut dokter adalah MT yang mengalami sikatrik, dimana perforasinya sudah tertutup. Lagi pula dalam anamnesis pun tidak ada keluhan pendengaran.

Kemudian, pasien inipun kemungkinan mengalami sinusitis karena adanya sekret di meatus media, walaupun tidak ada nyari tekan pada sinus. Sayang tidak dilakukan tes transluminasi. Dalam pemeriksaan anjuran dikatakan foto SNF posisi Water's dan CT scan. Menurut dokter, CT scan biasa dilakukan untuk diagnosis dan persiapan operasi. Kalau bisa dipastikan dengan foto polos saja pada pasien ini, maka sebaiknya tidak usah, apalagi biayanya tidak sedikit.

Pada hidungnya ditemukan konka hiperemis, padahal ini adalah kasus kronik. Bisa jadi hal ini disebabkan oleh iritasi.

Dalam anamnesis pasien mengalami hidung tersumbat sejak satu tahun yang lalu. Mestinya lebih digali lagi. Kalau terus-menerus, kemungkinan adalah polip. Kalau hilang timbul atau posisinya berpindah-pindah dari kiri ke kanan, kemungkinan yang lain.

Beliau juga bercerita tentang pasien yang didiagnosis dengan abses. Jika seorang dokter sudah mendiagnosis pasiennya dengan abses, maka harus segera dilakukan insisi.

Beliau juga memberikan sedikit bocoran ujian, hal terpenting yang harus dipahami adalah OMA. Kalau semua pertanyaan telah ditanyakan dan jawaban kurang memuaskan, minimal harus menguasai topik yang satu ini.

Sehabis bimbingan ketemu Nn. E untuk jadwal besok. Ada operasi Tonsiloadeinoktomi berbarengan dengan kuliah radiologi. Kami dilema memutuskan yang mana, karena keduanya sama-sama penting dan tidak terulang. Setelah ketemu dr. S, akhirnya kami ikut operasi awalnya, kemudian izin ke radiologi. Setelah hompimpa, keluarlah giliran ke OK besok. Aku masih harus bersabar menunggu giliran. Hari esok menanti. Semangat!

Oh, ya, apabila ada yang salah dari tulisanku karena pemahamanku yang masih kurang disertai bacaan yang terbatas, mohon koreksiannya ya. Thanks.

Related Posts

Post a Comment