Akhirnya pukul 12.30. Kami semua berkumpul di depan skill lab menunggu bel dibunyikan. Aku mendapat nomor urut 14 di ruang ke dua. Bel berbunyi dan kami semua masuk.
Di stase 14 ada dr. Fika. Soalnya adalah melakukan pemeriksaan Shifting Dullnes dan Mc Burney. Setelah memperkenalkan diri dan meminta izin, aku melakukan pemeriksaan sesuai yang kupelajari dan kuingat. Setelah selesai, mengucapkan terima kasih kepada pasien. Masih banyak waktu yang tersisa dan dr. Fika bertanya apakah ada yang kurang. Sambil mengingat-ingat, aku jawab sudah semua. Setelah aku merasa tidak bisa menemukan kesalahanku, dr. Fika mengatakan bahwa aku salah ketika meminta pasien miring dalam pemeriksaan Shifting Dullness. Semestinya aku memintanya miring ke arah kontralateral, tapi aku tidak melakukan hal tersebut. Buruknya, aku benar-benar lupa atau mungkin tidak tahu kalau pasien harus miring ke arah kontralateral. Aku juga tidak bisa menjawab pertanyaan dr. Fika untuk membayangkan bagaimana posisi cairan asitesnya.
Dan aku benar-benar tidak bisa berpikir, karena seingatku, miring ke arah cairan, lalu perkusi ke arah kontralateral. Karena sepertinya dr. Fika melihat dari mukaku bahwa aku tidak mendapat pencerahan, maka beliau berkata, terpaksa kamu tidak bisa saya luluskan. Rasanya semangatku mau habis. Stase pertama aku sudah mendengar pernyataan tidak lulus. Bel berbunyi dan aku harus segera keluar.
Sambil istirahat, aku mencoba menenangkan diri. Teringat pernyataan dr. Bisatyo agar jangan mengingat yang sudah terjadi, tapi persiapkan diri untuk yang kamu hadapi selanjutnya. Aku mencoba memikirkan cara melakukan pap smear dengan benar. Walaupun jujur, shifting dullness sulit dilupakan.
Bel kembali berbunyi. Dr. Ira menanti. Kukerjakan langkah pap smear sambil mengingat cara menggunakan spekulum. Saking gugupnya, aku sampai diingatkan dr. Ira untuk menggunakan handscun. Semula aku hanya mengatakannya saja tanpa melakukannya. Setelah selesai dengan step-stepnya, dr. Ira memintaku mempraktekkan cara memasukkan spekulum. Beliau mengajarkan untuk memasukkannya dengan posisi miring sampai sepertiganya saja. Saat ditanya alkohol berapa persen yang digunakan, aku jawab 90%. Ternyata yang dipakai 96%. Ketika ditanya berapa lama merendamnya, aku bingung. Beliau katakan 15 menit. Bel berbunyi dan aku harus keluar lagi. Tanpa sadar handscun belum sempat kulepas. Sudahlah, kumasukkan saja ke kantong.
Setelah istirahat, aku masuk ruang kateter. Dr. Nurul menunggu tanpa berbicara apapun. Aku mencoba bersikap tenang dan mengerjakan sesuai prosedur. Di langkah terakhir untuk fiksasi, aku harus memasukkan cairan. Selama ini aku terbiasa cuma dengan memasukkan udara saja. Tapi tetap kulakukan juga. Beliau bertanya berapa banyak air yang kumasukkan. Aku jawab 2 cc. Dari mana tahu harus memasukkan sebanyak itu? Sebenarnya aku tidak tahu harus memasukkan berapa banyak, dan aku asal memasukkan saja. Tapi aku jawab juga pertanyaan beliau. Dari tulisan di selang kateternya. Memang tulisannya berapa? Aku mulai membaca, 16 inch dan 0,5-1,5 ml. Sayangnya aku masih belum mencerna apa yang kubaca.
Bel kembali memisahkan kami dan aku harus keluar. Di luar aku baru sadar arti dari tulisan tersebut. Ml sama dengan cc. air yang kumasukkan melebihi semestinya. Sebenarnya aku sadar saat melihat airnya kerembes keluar. Tapi aku belum bisa berpikir cepat. Ok, konsentrasi stase berikutnya.
Tertulis seorang ibu yang ketubannya sudah pecah. Dan dalam kurung kala tiga. Jadi bayinya sudah keluar atau belum? Kuputuskan hanya membantu kelahiran plasenta. Lakukan step sesuai ceklist dan kembali menjawab pertanyaan. Dr. Sarjana juga mengingatkanku untuk melepas handscun yang kupakai setelah awalnya beliau mengingatkanku untuk memakainya. Apa yang harus aku katakan pada pasien setelah melahirkan. Aku katakan bayinya sudah selamat, begitu pula plasentanya. Plasenta selamat? Yang benar adalah lengkap, kata dr. Sarjana. Selanjutnya apa yang harus aku katakan pada pasien? Biasanya yang paling sering terjadi setelah melahirkan adalah kontraksi uterus dan perdarahan, kata beliau. Lalu apa yang akan aku katakan? Berbagai ide muncul di kepalaku. Bisa jadi panggil suster, atau lakukan massage pada uterus. Tapi aku sadar tidak boleh berasumsi. Akhirnya sampai bel berbunyi aku bingung harus menjawab apa.
Pasien suatu kecelakaan harus diperiksa GCSnya. Dengan yakin aku sudah melapalkan kriterianya. Maka akupun melakukan pemeriksaan. Setelah selesai, dr. Elfira bertanya apakah aku sudah yakin dengan jawabanku. Aku bahkan sampai mengulangi pemeriksaan. Tapi jawabanku tidak banyak berubah. Hanya verbal yang semula 3 menjadi 4. dr. Elfira lalu menjelaskan kalau aku kurang giat bertanya pada pasien. Seperti penilaian Eye, aku hanya memanggil tanpa menggoyang badan pasien, lalu langsung memberi rangsang nyeri, sehingga Eye-nya 2. Padahal jika digoyang dan dipanggil mata pasien akan membuka, maka nilai Eye-nya 3. Aku mendapat pelajaran di sini.
Berikutnya adalah NGT. Dr. Muniroh siap dengan handscun steril di sana. Aku diminta melakukan cara cuci tangan yang benar dan memakai handscun steril. Alhamdulillah aku masih ingat prinsip hand to hand dan gloves to gloves. Setelah itu memasang NGT. Beliau bertanya, apabila salah satu hidung pilek, maka memasukkannya ke hidung yang mana. Aku jawab saja hidung yang tidak pilek. Lalu dia bernafasnya bagaimana? Saya juga bingung sebenarnya dok. Saat ditanya siapa yang bilang masukkan ke hidung yang tidak pilek, rujukanku cuma sampai kata teman.
Selanjutnya masuk ruangan Mas Yasin. Di dalam, Danang sedang interpretasi hasil rongen. Aku mencoba mengingat-ingat penjelasan Huda tadi pagi dan tentunya penjelasan dr. Ayat sewaktu kuliah. Dede yang sedang menulis resep meminjam pulpenku karena punyanya macet.
Saatnya aku masuk dan meminta penku pada Dede, karena dia harus pergi dan aku tidak punya pulpen lagi. Aku menjelaskan hasil rongen yang kupahami sebisaku. Alhamdulillah dr. Ayat culkup membantu. Walaupun ada beberapa istilah yang sepertinya aku buta sama sekali. Aku juga diminta mengukur lebar jantung dan rongga dada. Aku seperti mendapat pencerahan.
Antara rongen dan resep tidak ada jeda istirahat. Seorang anak berusia 6 tahun dengan berat 20 kg memerlukan bantuan. Aku mencoba menghitung resep dan sebenarnya tidak sulit. Tapi aku rada lupa bagaimana menulis resep untuk minta dibuatkan pulveres. Aku juga rada bingung saat ingin meresepkan parasetamol. Dan saat pemberian guaiakolat dengan waktu paruh 4 jam, aku meresepkannya 6 x sehari. Padahal cukup 4 x sehari. Karena tidak mungkin kamu memintanya bangun dari tidur hanya untuk minum obat.
Absen sebentar sambil istirahat. Tidak lupa aku membaca soal berikutnya yang tertempel di pintu.
Sekarang pasien dengan keluhan utama demam minta dianamnesis. Parahnya, ketika berhadapan dengan pasien, begitu sedikit pertanyaan yang muncul dibenakku. DD yang ada dipikiranku hanya Typhoid dan DBD. Tapi sedikit pun aku tidak menanyakan gejala DBD. Dan waktu 6 menit habis dengan lebih banyak diam diantara kami. Dan dr. Erike pun tidak banyak komentar.
Berikutnya bantuan hidup dasar. Dr. Woro berada dalam ruangan. Kukerjakan sesuai riview kemarin dengan tenang. Alhamdulillah lancar dan beliau bilang bagus. Beliau bertanya bagimana staseyang lain. Aku ceritakan bagaimana aku tidak lulus Shifting Dullness, kehabisan kata-kata saat anamnesis dan gugup menulis resep.
Seorang wanita ingin suntik KB intramuskular. Ternyata dr. Jono yang ada di sana. Aku hampir lupa mengatakan cuci tangan dan pakai handscun karena tidak ada di atas meja. Tapi beliau mengingatkannya. Berikutnya berjalan lancar. Kami masih sempat mengobrol. Beliau bertanya asalku dari mana. Aku jawab Martapura Kalimantan Selatan. Kata beliau banyak patung bunganya. Giliran aku yang bingung. Aku hanya ingat dengan intannya. Dan bel memisahkan kami.
Kesan umum dan tanda vital. Tulis hasil laporan di kertas yang disediakan. Jangan lupa nama dan NPM. Kusiapkan mentalku, dan masuk. Perkenalkan diri, periksa kesadaran dan habitus. Periksa suhu sambil denyut nadi. Lalu periksa tensimeter. Aku tidak bisa mendengar bila stetoskop diletakkan di luar kerudung, maka aku letakkan langsung di telingaku. Aw! Telinga kiriku sakit sekali, aku tahan sebantar dan aku paksakan untuk mendengar. Hasilnya aku tidak bisa mendengar sama sekali. Bel berbunyi sebelum aku sempat memeriksa frekuensi nafas dan menulis hasilnya. Dr. Siska memberiku kesempatan untuk menulis sebentar dan mempersilahkan Rahma masuk.
Saat berjalan ke stase berikutnya, aku kesulitan menahan air mataku. Entah karena gagal atau memang telingaku yang sakit sekali. Yang jelas, air mata ini terus keluar. Aku tidak ingin yang lain melihat aku menangis. Kucoba memfokuskan pikiran pada pameiksaan N. V yang menanti di depan. Tangan kiriku terus memegang telingaku yang masih sakit. Ya Allah, bantulah hamba, tinggal dua stase lagi.
Seperti biasanya memperkenalkan diri. Refleks kornea dan masseter tidak perlu dilakukan. Tapi ketika aku berhenti, dr. Yanti bertanya apa lagi yang harus aku lakukan. Sejenak aku kebingungan karena menurutku semua sudah kulakukan. Ternyata aku harus mengucapkan terimakasih pada pasien. Beliau bertanya kesulitanku. Aku menceritakan hal yang sama seperti kukatakan pada dr. Woro. Kali ini dengan tambahan pemeriksaan tanda vital.
Stase terakhir, perkusi dan auskultasi jantung. Padahal sebelumnya kami lebih banyak mempelajari paru. Sambil mengingat batas jantung dan letak katubnya. Bismillah, semangat. lakukan dengan benar, jangan lupa menghitung sela iga. Saat auskultasi, aku merasa trauma melihat stetoskop. Aku tidak bisa mendengar jelas apabila tidak terpasang langsung di telinga. Tapi telinga kiriku masih sakit. Akhirnya aku memasangnya hanya pada telinga kanan. Lagi pula dr. Riva tidak melihatnya karena ada dalam kerudung. Saat auskultasi iktus kordis, beliau bertanya apakah aku merasa ada yang kurang. Aku tidak punya ide untuk menjawabnya karena tidak membaca materi jantung. Tapi beliau memberi kode harus menyesuaikannya dengan sesuatu, dan aku ingat, jawabannya adalah pembuluh nadi.
Bel berbunyi. Neeeet! Masih satu stase lagi, tapi aku sudah menyelesaikannya. Yang ada dalam bayanganku sekarang adalah tinggal menunggu kapan aku akan melakukan ujian her OSCE kalau memang ada. Ya Allah, inilah yang dapat hamba lakukan pada OSCE kali ini. Semoga OSCE berikutnya akan lebih baik lagi. Dan aku bisa bersikap lebih baik lagi kepada pasien.
NB/ sekarang telinga kiriku masih sakit dan bertambah sakit.
Post a Comment
Post a Comment